(Kesedihan) Melihat Tanah Air

Sampai kini, dia sangat kikuk melihat tingkah pemimpinnya. Keadaan itu yang membuatnya benci setiap para pemimpinnya. Mau protes percuma, mau diacuhkan tapi nampak dimata, tak mau dengar justru dia tak mungkin selalu menutup telinga. Serba salah hidup di tanah airnya.
Dia hidup berdua saja bersama sang istri. Kemungkinan yang mereka terka, salah satu dari mereka mandul,  hingga sampai sekarang ini belum dikaruniai anak. Tidak jelas siapa yang mandul, keduanya bahkan tak pernah pergi ke dokter untuk sekadar cek. Lagi-lagi karena masalah uang.
Dia cukup 'hemat', juga mampu memanfaatkan sampah menjadi barang berguna. Rangkaian kardus mie instan, snack dan lain-lainnya dikondisikannya menarik dan penuh guna untuk menjadi dindingnya. Sementara banyak spanduk bekas diraut menjadi atapnya. Untuk lantainya, dibiarkannya tetap menyatu dengan bumi Indonesianya. Ketika hujan, airnya ditahan oleh jembatan diatasnya, tak sampai membasahi dinding kardusnya. Walaupun dindingnya harus diganti secara berkala akibat kelembaban atau bahkan grogotan rayap.
Lingkungannya sekasat mata macam brutal. Banyak sampah yang bau. Mungkin, ketika mereka para pejabat negara lewat dari sana, mereka akan menutup hidungnya. Bahkan menutup mata karena jijik. Keliru. Harusnya, mereka membiarkan hidung menghirup bau dan melihat dekil. Agar nantinya tau dan paham bagaimana mengubahnya. Yang ada malah tidak acuh.
Alhasil, keadaannya seperti gitu-gitu saja. Tidak ada perubahan. Padahal dia tinggal kota. Yang dikelilingi jalanan megah. Diteduhi bangunan besar. Bahkan, sangking dekatnya, suara kemacetan kota bisa menggetarkan gendang telinganya. Namun, masih saja keadaannya seperti ini. Ironis dengan tanah air
Dia bukan tidak mau direlokasi ke tempat yang lebih baik dan nyaman. Pasalnya, 'mereka' itu yang tidak langsung gerak untuk pembangunan. Kan dia yang kasihan.
Kehidupannya seiring jalan, diresapinya. Mungkin, dia sudah dapat pola kehidupannya. Hidup diantara sampah-sampah yang dimatanya, itu adalah sesuatu pemuncul uang. Sesuatu penyambung hidup. Pergi pagi, pulang sore mengelilingi kota. Pilah-pilih dilakukannya disetiap tempat sampah. Adanya dia justru malah membantu pengolahan sampah dikota. Tapi dilain pandangan, hadirnya malah memberi penampakan kumuh dan dekil untuk berada di daerah kota.
Sedih melihat tanah air.
~eMFad

Comments